Kelahiran organisasi Boedhi Oetomo pada tanggal 20
Mei 1908 sesungguhnya amat tidak patut dan tidak pantas diperingati
sebagai Hari Kebangkitan Nasional, karena organisasi ini mendukung
penjajahan Belanda, sama sekali tidak pernah mencita-citakan Indonesia merdeka,
a-nasionalis, anti agama, dan bahkan sejumlah tokohnya merupakan anggota
Freemasonry Belanda (Vritmejselareen).
Dipilihnya tanggal 20 Mei sebagai Hari Kebangkitan Nasional, sesungguhnya merupakan suatu penghinaan terhadap esensi perjuangan merebut kemerdekaan yang diawali oleh tokoh-tokoh Islam yang dilakukan oleh para penguasa sekular. Karena organisasi Syarikat Islam (SI) yang lahir terlebih dahulu dari Boedhi Oetomo (BO), yakni pada tahun 1905, yang jelas-jelas bersifat nasionalis, menentang penjajah Belanda, dan mencita-citakan Indonesia merdeka, tidak dijadikan tonggak kebangkitan nasional.
Dipilihnya tanggal 20 Mei sebagai Hari Kebangkitan Nasional, sesungguhnya merupakan suatu penghinaan terhadap esensi perjuangan merebut kemerdekaan yang diawali oleh tokoh-tokoh Islam yang dilakukan oleh para penguasa sekular. Karena organisasi Syarikat Islam (SI) yang lahir terlebih dahulu dari Boedhi Oetomo (BO), yakni pada tahun 1905, yang jelas-jelas bersifat nasionalis, menentang penjajah Belanda, dan mencita-citakan Indonesia merdeka, tidak dijadikan tonggak kebangkitan nasional.
BO
didirikan di Jakarta tanggal 20 Mei 1908 atas prakarsa para mahasiswa
kedokteran STOVIA, Soetomo dan kawan-kawan. Perkumpulan ini dipimpin
oleh para ambtenaar, yakni para pegawai negeri yang setia terhadap
pemerintah kolonial Belanda. BO pertama kali diketuai oleh Raden T.
Tirtokusumo, Bupati Karanganyar kepercayaan Belanda, yang memimpin
hingga tahun 1911. Kemudian dia diganti oleh Pangeran Aryo Notodirodjo
dari Keraton Paku Alam VIII Yogyakarta yang digaji oleh Belanda dan
sangat setia dan patuh pada induk semangnya.
Di dalam rapat-rapat perkumpulan dan bahkan di dalam penyusunan anggaran dasar organisasi, BO menggunakan bahasa Belanda, bukan bahasa Indonesia.
“Tidak
pernah sekali pun rapat BO membahas tentang kesadaran berbangsa dan bernegara
yang merdeka. Mereka ini hanya membahas bagaimana memperbaiki taraf hidup
orang-orang Jawa dan Madura di bawah pemerintahan Ratu Belanda, memperbaiki
nasib golongannya sendiri, dan menjelek-jelekkan Islam yang dianggapnya
sebagai batu sandungan bagi upaya mereka, ” papar KH. Firdaus AN.
Di dalam Pasal
2 Anggaran Dasar BO tertulis “Tujuan organisasi untuk menggalang
kerjasama guna memajukan tanah dan bangsa Jawa dan Madura secara harmonis.”
Inilah tujuan BO, bersifat Jawa-Madura sentris, sama sekali bukan kebangsaan.
Noto Soeroto, salah seorang tokoh BO, di dalam satu pidatonya tentang Gedachten van Kartini alsrichtsnoer voor de Indische Vereniging berkata: “Agama Islam merupakan batu karang yang sangat berbahaya... Sebab itu soal agama harus disingkirkan, agar perahu kita tidak karam dalam gelombang kesulitan. ” Sebuah artikel di “Suara Umum”, sebuah media massa milik BO di bawah asuhan Dr. Soetomo terbitan Surabaya, dikutip oleh A. Hassan di dalam Majalah “Al-Lisan” terdapat tulisan yang antara lain berbunyi, “Digul lebih utama daripada Makkah”, “Buanglah Ka’bah dan jadikanlah Demak itu Kamu Punya Kiblat!” (M. S) Al-Lisan nomor 24, 1938. Karena sifatnya yang tunduk pada pemerintahan kolonial Belanda, maka tidak ada satu pun anggota BO yang ditangkap dan dipenjarakan oleh Belanda. Arah perjuangan BO yang sama sekali tidak berasas kebangsaan, melainkan chauvinisme sempit sebatas memperjuangkan Jawa dan Madura saja telah mengecewakan dua tokoh besar BO sendiri, yakni Dr. Soetomo dan Dr. Cipto Mangunkusumo, sehingga keduanya hengkang dari BO.
Bukan itu
saja, di belakang BO pun terdapat fakta yang mencengangkan. Ketua pertama BO
yakni Raden Adipati Tirtokusumo, Bupati Karanganyar, ternyata adalah
seorang anggota Freemasonry. Dia aktif di Lodge Mataram sejak
tahun 1895.
Sekretaris BO (1916), Boediardjo, juga seorang Mason yang mendirikan cabangnya sendiri yang dinamakan Mason Boediardjo.
Hal ini
dikemukakan dalam buku “Tarekat Mason Bebas
dan Masyarakat di Hindia Belanda dan Indonesia 1764-1962” (Dr. Th.
Stevens), sebuah buku yang dicetak terbatas dan hanya diperuntukan bagi
anggota Mason Indonesia.
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||
Tiga tahun sebelum BO dibentuk, Haji Samanhudi dan kawan-kawan mendirikan
Syarikat Islam (SI, awalnya Syarikat Dagang Islam, SDI) di Solo pada tanggal
16 Oktober 1905. “Ini merupakan organisasi Islam yang terpanjang dan tertua
umurnya dari semua organisasi massa di tanah air Indonesia, ” tulis KH. Firdaus
AN.
Berbeda dengan BO yang hanya memperjuangkan nasib orang Jawa dan Madura—juga hanya menerima keanggotaan orang Jawa dan Madura, sehingga para pengurusnya pun hanya terdiri dari orang-orang Jawa dan Madura—sifat SI lebih nasionalis. Keanggotaan SI terbuka bagi semua rakyat Indonesia yang mayoritas Islam. Sebab itu, susunan para pengurusnya pun terdiri dari berbagai macam suku seperti: Haji Samanhudi dan HOS. Tjokroaminoto berasal dari Jawa Tengah dan Timur, Agus Salim dan Abdoel Moeis dari Sumatera Barat, dan AM. Sangaji dari Maluku. Guna mengetahui perbandingan antara kedua organisasi tersebut—SI dan BO—maka di bawah ini dipaparkan perbandingan antara keduanya: Perbandingan SI vs BO
Seharusnya 16 Oktober Hari Kebangkitan Nasional yang sejak tahun 1948 kadung diperingati setiap tanggal 20 Mei sepanjang tahun, seharusnya dihapus dan digantikan dengan tanggal 16 Oktober, hari berdirinya Syarikat Islam. Hari Kebangkitan Nasional Indonesia seharusnya diperingati tiap tanggal 16 Oktober, bukan 20 Mei. Tidak ada alasan apa pun yang masuk akal dan logis untuk menolak hal ini. Jika kesalahan tersebut masih saja dilakukan, bahkan dilestarikan, maka saya khawatir bahwa jangan-jangan kesalahan tersebut disengaja. Saya juga khawatir, jangan-jangan kesengajaan tersebut dilakukan oleh para pejabat bangsa ini yang sesungguhnya anti Islam dan a-historis. Jika keledai saja tidak terperosok ke lubang yang sama hingga dua kali, maka sebagai bangsa yang besar, bangsa Indonesia seharusnya mulai hari ini juga menghapus tanggal 20 Mei sebagai Hari Kebangkitan Nasional, dan melingkari besar-besar tanggal 16 Oktober dengan spidol merah dengan catatan “Hari Kebangkitan Nasional”. (Rizki Ridyasmara/eramuslim) |
|||||||||||||||||||||||||||||||||
LINK
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar