salam

Kamis, 26 Mei 2011

Menyongsong Mihwar Daulah

Ada empat mihwar yang harus dilalui dakwah ini untuk mewujudkan visi yang dicita-citakannya; mihwar tandzimi, mihwar sya'bi, mihwar muassasi, dan mihwar daulah. Mihwar Daulah ditandai dengan penetrasi dakwah ke pemerintahan dan lembaga-lembaga negara. Dakwah pada mihwar ini, dengan demikian, mampu mempengaruhi dan mengelola negara sehingga kebijakan-kebijakannya sesuai dengan nilai-nilai Islam. Pada akhirnya, rakyatlah yang akan merasakan keadilan dan kesejahteraan dari negara yang kita cintai bersama.

Jika mihwar tandzimi berkonsentrasi pada pencetakan dan pembentukan kader sebagai basis operasional dakwah; mihwar sya'bi mulai memunculkan kader-kader dakwah untuk berperan di ranah publik membentuk basis sosial, mengintensifkan kegiatan dakwah 'ammah dan membentuk wajihah-wajihah; lalu mihwar muassasi mempertemukan dakwah dengan kegiatan dan kelembagaan politik serta penetrasi dakwah parlemen; maka mihwar daulah mendapatkan pekerjaan baru untuk menyiapkan pemimpin-pemimpin negara, blue print pemerintahan, regulasi dan perundang-undangan, serta pengelolaan negara. Sebagai konsekuensinya, beban dakwah yang semakin berat dan ranah kerja dakwah yang semakin luas ini membutuhkan persiapan-persiapan yang lebih besar dari pada mihwar-mihwar sebelumnya.

Untuk mendukung persiapan-persiapan itulah buku Menyongsong Mihwar Daulah ini ditulis oleh Ust. Cahyadi Takariawan. Maka, selain mengupas empat mihwar di atas –dengan terlebih dahulu diawali tulisan tentang dakwah, kewajiban, tujuan, metode, sampai aspek pertumbuhannya- hampir separuh buku ini berisi persiapan-persiapan aktivis dakwah dalam menyongsong mihwar daulah.

Persiapan itu dikelompokkan penulis menjadi 6 bagian; persiapan ruhani (ruhiyah), persiapan karakter (muwashafat), persiapan intelektual (fikriyah), persiapan fisik (jasadiyah), persiapan kompetensi (kafa'ah), serta persiapan materi (maaliyah).

Persiapan ruhiyah bersumber dari aqidah Islam, dan ia menjadi rahasia kekuatan Islam! Dengan persiapan ruhiyah tumbuhlah keyakinan yang kokoh dan terbentuklah sifat rabbaniyah. Dengan mengambil metode dakwah fase Makkiyah, persiapan ruhiyah ini harus diawali dari pembinaan aqidah yang benar lalu diikuti dengan pembersihan jiwa (tazkiyatun nafs).

Diantara parameter persiapan ruhiyah yang benar dalam menyongsong mihwar daulah adalah terbebasnya kader dari gejala kekeringan ruhaniyah, yaitu mudah dilanda kejenuhan dan kemalasan, mudah emosi dan tersinggung, mudah kecewa dan putus asa, serta mudah mengeluh dan meratapi kondisi.

Persiapan muwashafat mengharuskan kita untuk lebih serius dalam aktifitas tarbiyah. Persiapan muwashafat tidak lain adalah penyiapan kader dakwah melalui tarbiyah agar memiliki 10 muwashafat yang telah banyak kita hafal bersama; salimul aqidah (aqidah yang selamat), shahihul ibadah (ibadah yang benar), matinul khuluq (akhlak yang mulia), qadirun alal kasbi (berdaya secara ekonomi), mutsaqqaful fikri (wawasan yang luas), qawiyyul jismi (fisik yang sehat), mujaahidun linafsihi (memerangi nafsunya sendiri), munazhzhamun fi syu'unihi (teratur dalam segala urusannya), hariitsun ala waqtihi (manajemen waktu yang baik), dan nafi'un li ghairihi (bermanfaat bagi sesama).

Sebenarnya 10 muwashafat ini sudah menyangkut persiapan-persiapan lainnya seperti persiapan fikriyah, jasaadiyah, dan maaliyah. Namun penulis (Ust. Cahyadi Takariawan) hendak membahasnya lebih detail dan memberikan penekanan yang lebih. Karenanya persiapan-persiapan itu dibahas lebih lanjut.

Persiapan fikriyah dalam menyongsong mihwar daulah mengharuskan seorang kader untuk memiliki pengetahuan Islam secara lengkap dan pengetahuan modern sekaligus. Pengetahuan Islam yang dimaksud adalah penguasaan atas ilmu ushul ats-tsalatsah (tiga ma'rifat tentang Allah SWT, Ar-Rasul, dan Al-Islam), Al-Qur'an (kandungan dan ilmu-ilmu yang berhubungan dengannya), As-Sunnah (kandungan dan ilmu-ilmu yang berhubungan dengannya), ushul fiqih, aqidah, akhlak, dan fiqih, sirah nabawiyah dan tarikh umat Islam, ilmu bahasa Arab, sistem musuh dalam deislamisasi, studi Islam modern, serta fiqih dakwah.

Secara jamaah, pengetahuan modern harus dikuasai di semua bidangnya. Harus ada kader yang menguasai satu spesialisasi ilmu, sementara spesialisasi lain dikuasi oleh kader lainnya. Dengan demikian, ilmu yang dibutuhkan dalam pelayanan publik termasuk keahlian praktis dan keprofesian, pengelolaan negara dan teknologi, semuanya harus dimiliki. Sementara secara personal, kader dakwah harus menguasai ilmu yang menjadi profesinya serta memiliki pengetahuan umum di luar spesialisasinya.

Persiapan jasadiyah juga sangat diperlukan dalam mihwar daulah. Aktifitas yang semakin padat, baik amal tarbawi, amal mihani, maupun amal siyasi mutlak memerlukan kesiapan fisik yang prima. Maka, kebiasaan hidup sehat dan olahraga secara teratur menjadi kunci suksesnya persiapan jasadiyah ini.

Persiapan kompetensi mutlak diperlukan karena saat memasuki mihwar daulah, dakwah membutuhkan banyak SDM untuk memasuki posisi-posisi strategis dalam pemerintahan, baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Persiapan ini perlu dimulai dari pemetaan posisi strategis yang akan dikelola dan bagaimana kompetensi SDM yang diperlukannya. Selanjutnya, kader dengan kompetensi yang tepat-lah yang ditempatkan pada posisi strategis yang tepat.

Persiapan maliyah diperlukan dalam mihwar daulah, bahkan lebih besar dari mihwar sebelumnya. Ia diperlukan dalam skala individu dan kolektif. Maka kekuatan maaliyah ini harus dipupuk dengan aktifitas usaha sedini mungkin.

Mihwar daulah, selain membutuhkan enam persiapan di atas, juga membutuhkan keseimbangan peran antara ikhwan dan akhwat. Karenanya Ust. Cahyadi Takariawan membuat bab tersendiri yang membahas peran akhawat muslimah dalam dakwah. Selain mengemukakan penghargaan Islam kepada perempuan, peran akhawat muslimah di zaman keemasan Islam juga peran akhawat dalam gerakan dakwah modern. Mengakhiri bab terakhir ini, Ust. Cahyadi Takariawan menuliskan pedoman umum keterlibatan akhawat. Pertama, kesadaran dan partisipasi sosial politik. Kedua, fardhu kifayah dalam berperan di bidang sosial politik. Ketiga, peran dalam pendidikan sosial dan politik, utamanya di ranah tanggung jawabnya baik lingkungan keluarga atau pun lainnya.

Buku ini memang tidak membahas secara detail bagaimana metode dan langkah praktis persiapan-persiapan menyongsong mihwar daulah, karena ia memang menjadi urusan internal tarbiyah. Artinya, sasaran-sasaran yang dijelaskan dalam persiapan menyongsong mihwar daulah di buku ini akan dicapai dengan aktifitas tarbiyah dengan segala manhaj dan wasaail–nya. Sehingga jika pembaca menginginkan dirinya mampu memenuhi persiapan-persiapan itu tidak ada jalan lain kecuali bergabung dalam tarbiyah dan istiqamah di dalamnya. Satu harapan kita, semoga buku ini –sebagaimana promosinya di majalah tarbawi dan media lain- menjadikan kader lebih cerdas dan siap menyongsong mihwar daulah! Wallaahu a'lam bish shawab. [Muchlisin]

>> tertarik dengan bukunya ...bisa pesan di "Pustaka Wafi" loh.. ^o^

Selasa, 24 Mei 2011

Prajurit Yang Siap Di Pos Tugas


oleh DH. Al Yusni

Imam Bukhari meriwayatkan dari Anas bin Malik RA. bahwa kaum muslimin agak galau ketika mendengar Kaisar Heraklius dan Syurahbil bin Amr mengerahkan 200.000 tentara guna menghalau kedatangan kaum muslimin ke Romawi. Sedangkan kaum muslimin waktu itu berjumlah 3000 tentara. Kaum muslimin kemudian merundingkan apa yang seharusnya mereka lakukan. Beberapa orang di antaranya berpendapat, ‘Sebaiknya kita menulis surat kepada Rasulullah SAW. melaporkan kekuatan musuh. Mungkin beliau akan menambah kekuatan kita dengan pasukan yang lebih besar lagi atau memerintahkan sesuatu yang harus kita lakukan’. Akan tetapi Abdullah bin Rawahah RA. tidak menyetujui pendapat tersebut. Bahkan ia mengobarkan semangat pasukan dengan ucapannya yang berapi-api.
‘Hai saudara-saudara, kenapa kalian tidak menyukai mati syahid yang menjadi tujuan kita berangkat ke medan perang ini. Kita tidak mengandalkan banyaknya jumlah pasukan atau besarnya kekuatan akan tetapi semata-mata berdasarkan agama yang dikaruniakan Allah SWT. kepada kita. Karena itu majulah. Tidak ada pilihan lain kecuali salah satu dari dua kebajikan, Menang atau Mati syahid!’.
Akhirnya bertemulah kedua pasukan itu di Kirk. Dari segi personil dan sarana, kekuatan musuh jauh lebih besar dari pada kekuatan kaum muslimin. Panglima Zaid bin Haritsah RA. bersama kaum muslimin bertempur menghadapi musuh hingga ia gugur. Kemudian Ja’far bin Abi Thalib mengambil alih panji peperangan. Ia maju menerjang barisan musuh seraya bersyair:
‘Alangkah dekatnya syurga!
Harumnya semerbak dan segar minumannya
Kita hujamkan siksa ke atas orang-orang Romawi
Yang kafir durjana nun jauh nasabnya
Pastilah aku yang memeranginya’
Ja’far RA. terus maju bertempur sampai ia tertebas musuh yang memotong tubuhnya menjadi dua. Di tubuhnya terdapat lima puluh tusukan dan semuanya di bagian depan. Kemudian panji diambil alih oleh Abdullah bin Rawahah RA. Ia memimpin pertempuran sambil bersyair:
‘Wahai jiwa,engkau harus terjun
Dengan suka atau terpaksa
Musuh-musuh telah maju ke medan laga
Tidakkah engkau rindukan syurga
Telah lama engkau hidup tenang
Engkau hanya setetes air yang hina’
Ia pun terus maju hingga gugur sebagai syahid. Lalu kaum muslimin sepakat untuk mengangkat Khalid bin Walid RA. sebagai panglima perang. Pada saat itulah Khalid RA. mengambil langkah strategis mengatur posisi pasukannya bergantian. Yang tadinya berada pada sayap kanan diubah posisinya di sayap kiri begitu pula sebaliknya, untuk mengesankan bahwa kaum muslimin mendapatkan bala bantuan. Khalid RA. mengingatkan agar mereka berada pada posisinya masing-masing. Kemudian mereka menyerang Romawi dan berhasil memukul mundur akan tetapi Khalid RA. tidak mengejar mereka. Dan kaum muslimin kembali ke Madinah.
Akan tetapi masyarakat di Madinah menganggap bahwa mereka lari meninggalkan musuh. Lari dari jalan Allah. Namun Rasulullah SAW. membantah komentar masyarakat Madinah dengan pernyataannya: ‘Mereka tidak lari dari medan perang akan tetapi mereka mundur untuk menyerang kembali, Insya Allah’.
Kesanggupan untuk dimobilisasi
Watak para pahlawan Islam dalam memenangkan dakwah di medan peperangan terletak pada kesanggupan mereka untuk dimobilisasi dengan cepat dalam berbagai keadaan. Sikap ini secara umum memang merupakan perilaku prajurit sejati. Kesanggupan diri membuat mereka berani maju menghadapi tugas dan amanah dakwah sekalipun berat rasanya. Baginya tidak ada pilihan lain kecuali kemenangan yang hakiki. Hidup mulia atau mati syahid.
Bagi seorang prajurit yang siap, memikul tugas dan tanggung jawab adalah kemuliaan. Sehingga mereka akan mengerahkan segenap kemampuan untuk tetap berada di garis tugasnya. Berbalik ke belakang sama artinya dengan mewariskan keburukan dan kekalahan. Karena itu mereka berupaya untuk menunaikannya dengan sebaik-baiknya.
Semangat Abdullah bin Rawahah RA. yang berapi-api mampu mengobarkan kepahlawanan para sahabat. Mereka lebih mencintai harumnya syurga dari pada pulang kembali ke Madinah. Padahal mereka harus menghadapi musuh dengan jumlah dan kekuatan yang besar. Kecintaan pada hari akhirat menjadi landasan sikap mereka menyongsong tugas mulia. Dan modal itulah kaum muslimin memenangkan pertarungan dan mewariskan perilaku keimanan yang sebenar-benarnya kepada generasi berikutnya.
Hari yang kita lalui saat ini tampak sangat jelas. Karena jelasnya tugas dan amanah yang mesti kita tunaikan. Bila kita runut tugas itu satu persatu maka akan kita dapati begitu banyak tugas yang menanti kita. Tugas itu sedang antri untuk diselesaikan. Masalahnya adalah siapakah gerangan yang akan menunaikannya. Apalagi jika ditinjau dari waktu yang tersedia untuk penyelesaiannya maka ia memerlukan kader yang amat banyak.
Dalam situasi dan kondisi yang pelik dimana tugas dan waktu saling berlomba. Maka perilaku kader sejati untuk selalu siap dimobilisasi harus dikedepankan dari pada sikap gamang untuk menunaikannya. Karena kegamangan dalam melaksanakan tugas sering menghambat kemampuan untuk berpartisipasi aktif dalam menunaikan tugas mulia tersebut. Sikap gamang bagi kader dakwah merupakan batu sandungan yang harus segera disingkirkan. Dan yang perlu dihidupkan adalah sikap untuk selalu sanggup dimobilisasi dengan cepat dalam berbagai situasi. Selanjutnya menempati pos-pos yang lowong dengan sabar dan disiplin.
Pada jihad siyasi 2004 ini banyak pos-pos dakwah yang perlu diisi dengan segera. Karena waktu dan tugas yang perlu diselesaikan saling mendahului. Kader dakwah mesti tanggap dengan kemampuannya dan pos yang ada. Sehingga bisa segera mengistijabahi tugas-tugas mulia tersebut.
Bersabar berada di pos-pos dakwah
Berada pada pos dakwah terkadang banyak kendala dan cobaan. Baik yang menyenangkan maupun yang menyulitkan. Ini memang ujian dakwah yang diberikan Allah SWT. pada kita untuk menilai sejauh mana tingkat kesabaran dan kesetiaan prajurit sejati pada tugasnya. Serta keberhasilannya dalam menjalankan amanah yang diberikan padanya.
Adakalanya berada pada pos-pos tugas membosankan bahkan menegangkan karena beban yang berat. Namun adakalanya juga menyenangkan karena fasilitas dan pendapatan yang menggiurkan. Tidak jarang kita jumpai orang yang minta dipindahkan ke pos lain karena tidak suka pada tugas yang harus dikerjakan sehari-hari. Ada pula yang minta terus berada pada posnya karena penghasilan dan fasilitas yang ia dapatkan. Akhirnya tugas itu dinilai dari kesenangan material.
Kaum muslimin pernah mengalami pelajaran pahit di medan Uhud. Ini mesti menjadi catatan berharga bagi umat Islam. Tatkala pos-pos tugas itu dinilai dengan pandangan kesenangan material maka berakibat fatal bagi mereka. Sebab pos-pos yang harusnya dijaga dengan sabar dan disiplin, akhirnya ditinggalkan begitu saja. Kekosongan pos tugas itu menjadi peluang musuh untuk mengkocar-kacir barisan kaum muslimin hingga porak poranda. Dan kerugianlah yang diperolehnya.
Padahal Rasululah SAW. mengingatkan mereka dengan komandonya: ‘Berjagalah di pos kalian ini dan lindungilah pasukan kita dari belakang. Bila kalian melihat pasukan kita berhasil mendesak dan menjarah musuh, janganlah sekali-kali kalian turut serta menjarah. Demikian pula andai kalian melihat pasukan kita banyak yang gugur, janganlah kalian bergerak membantu’. (HR. Bukhari)
Kasus Uhud merupakan ibroh bagi orang-orang beriman. Cukup sekali saja hal itu terjadi. Tidak boleh terulang lagi apalagi sampai berulang-ulang. Oleh karena itu bekal kesabaran dan keteguhan hati perlu terus dipasok jangan sampai berkurang sedikitpun. Panglima Saad bin Abi Waqqas RA. menyerukan pasukan yang akan menghadapi tentara Persia dengan instruksinya: ‘tempati pos kalian dan bersabarlah, karena kesabaran menjadi jalan kemenangan’.
Bagi kader dakwah ketika sudah menempati pos tugasnya ia akan menjaganya dengan baik. Ia tidak akan tergiur sekejappun untuk meninggalkannya. ia juga tidak tergoda oleh kesenangan material yang mengganggunya. Namun ia akan terus berada pada posnya dengan penuh kesabaran. Sebagaimana Sang Junjungan telah mengingatkan bahwa ‘prajurit yang baik adalah bila ditugaskan di bagian belakang maka ia ada di tempatnya. Bila ia ditugaskan di barisan terdepan maka ia pun ada di tempatnya’. (HR. An Nasai).
Siap siaga menyongsong tugas
Bila peluit sang komandan telah dibunyikan berarti tugas-tugas harus segera diselesaikan. Kesiagaan menyongsong tugas menjadi indikasinya. Dari sana kadang menang dan kalah dapat diperkirakan. Mereka yang siap siaga artinya mereka siap menghadapi situasi apapun. Akan tetapi mereka yang lengah berarti mereka akan menjerumuskan dirinya pada jurang kebinasaan.
Kesiagaan kader indikasi kesiapannya untuk bertarung. Tentunya, siap di segala sektor. Kesiapan ruhiyah, fikriyah, jasadiyah dan nafsiyah. Dengan kesiapan yang demikian maka dapat dipetakan kekuatan diri dan musuhnya. Dan seberapa besar kendala yang peluang kemenangan yang akan didapatinya.
Manakala kesiapan itu sudah begitu gamblang di hati kaum muslimin dan kader dakwah secara khusus, maka Allah SWT. yang akan memback upnya. Yang Maha Kuat dan Perkasalah yang akan menggerakkan seluruh potensi yang dimiliki kader apabila sudah digerakkan sejak awal.
"Maka (yang sebenarnya) bukan kamu yang membunuh mereka, akan tetapi Allahlah yang membunuh mereka, dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar. (Allah berbuat demikian untuk membinasakan mereka) dan untuk memberi kemenangan kepada orang-orang mu'min, dengan kemenangan yang baik. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui". (QS. Al Anfal: 17)
Yang menjadi persoalannya adalah apakah kader dakwah saat ini seluruhnya sudah siap siaga menyongsong tugas atau masih asyik termangu dengan kebingungannya. Semuanya kembali pada diri kader masing-masing. Akan tetapi yang perlu diingat adalah bila kader dakwah belum siap siaga menyongsong tugas jangan berharap hari esok lebih baik dari kemarin.
Sayyid Quthb rahimahullah menjelaskan bahwa generasi qur’ani masa lalu menjadi umat terbaik bukan terletak pada keberadaan Rasul bersama mereka. Melainkan sikap mereka terhadap qur’an dan sikap mereka secara keseluruhan yang siap siaga menerima tugas dan perintah. Bila saat itu disodorkan amanah tugas maka saat itu pula mereka kerjakan tanpa reserve. Nah, kalau begitu sikap mereka itulah yang perlu kita ulang pada diri kita saat ini. Karena tugas dan instruksi komandan untuk jihad siyasi saat ini begitu sangat jelas.
Mundur berarti kekalahan
Bila pertarungan sudah di hadapan hanya satu sikap saja yang dilakukan yaitu maju ke depan. Tidak boleh ada kata mundur atau balik ke belakang. Karena mundur artinya kekalahan. Dan kekalahan adalah kehinaan bagi kader dakwah dunia dan akhirat. Allah SWT. sudah menegaskan: "Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bertemu dengan orang-orang yang kafir yang sedang menyerangmu, maka janganlah kamu membelakangi mereka (mundur). Barangsiapa yang membelakangi mereka (mundur) di waktu itu, kecuali berbelok untuk (siasat) perang atau hendak menggabungkan diri dengan pasukan yang lain, maka sesungguhnya orang itu kembali dengan membawa kemurkaan dari Allah, dan tempatnya ialahneraka Jahannam. Dan amat buruklah tempat kembalinya". (QS. Al Anfal: 15 – 16)
Bagi kader dakwah tugas mulia menjadi jalan mulus untuk masa depan. Ia tidak akan pernah berpikir balik ke belakang. Ia akan maju terus menyongsong masa depan. Begitulah kemenangan kaum muslimin di berbagai tempat, termasuk di Eropa. Panglima Thariq bin Ziyad menyampaikan pidatonya di hadapan para prajurit. ‘Wahai kaum muslimin di belakangmu lautan lepas tidak ada lagi perahu yang akan membawa kalian ke negeri kampung halaman. Dan di depanmu musuh menghadang. Tidak ada pilihan lain untuk kemenangan kecuali maju ke hadapan songsong musuh dengan hati lapang. Sambut tugas dengan ringan’.
Menghadapi kenyataan ini keberanianlah yang perlu kita perbesar. Berani karena benar dan berani karena membawa misi kesucian. Kader pemberani dalam melaksanakan tugas dapat menjadi pintu kegemilangan. Khususnya kegemilangan dakwah di negeri dambaan ini.
Jangan pernah bermaksiyat
Kemenangan dan kekalahan yang dialami kaum muslimin sangat dipengaruhi oleh perbuatan para prajuritnya. Kemaksiyatankah atau ketaatan. Kemaksiyatan dapat menjadi penyebab kekalahan dan ketaatan dapat membawa kemenangan.
Para pemimpin Islam selalu mewasiatkan untuk mewaspadai perilaku kemaksiyatan kadernya. Karena kemaksiyatan yang dilakukan satu orang dapat berakibat buruk bagi yang lainnya. Kemaksiyatan yang dilakukan seorang kader harus lebih ditakuti daripada besarnya jumlah dan kekuatan musuh. Sebab maksiyatan membuat Allah SWT. menjauhi mereka. Dan tidak akan memberikan bala bantuan-Nya.
Catatan hitam dari kasus Uhudpun terjadi lantaran kemaksiyatan sebagian prajurit muslim. Mereka tidak mematuhi perintah Rasulullah SAW. karena tergiur dengan rampasan perang yang berserakan di depan mereka. Lalu mereka meninggalkan bukit Uhud dan mengumpulkan ghanimah tersebut. Akhirnya pos yang kosong itu segera diambil alih musuh sebagaimana yang diingatkan Allah SWT.
"Dan sesungguhnya Allah telah memenuhi janji-Nya kepada kamu, ketika kamu membunuh mereka dengan izin-Nya sampai pada saat kamu lemah dan berselisih dalam urusan itu dan mendurhakai perintah (Rasul) sesudah Allah memperlihatkan kepadamu apa yang kamu sukai. Di antaramu ada orang yang menghendaki dunia dan di antara kamu ada orang yang menghendaki akhirat. Kemudian Allah memalingkan kamu dari mereka untuk menguji kamu; dan sesungguhnya Allah telah mema`afkan kamu. Dan Allah mempunyai karunia (yang dilimpahkan) atas orang-orang yang beriman". (QS. Ali Iman: 152)
Cukuplah Uhud menjadi pelajaran besar bagi kita. Satu hal yang perlu dicamkan. Jangan pernah bermaksiyat sedikitpun ketika pertarungan telah di hadapan. Kemaksiyatan lobang jurang kebinasaan dan kehinaan dunia dan akhirat. Wallahu ‘alam bishshawab..

Rabu, 11 Mei 2011

Kemesraan Ukhuwah

Kemesraan ukhuwah dibangun atas tiga hal: saling kenal (ta’aruf), saling memahami (tafahum), dan saling berbagi beban (takaful). Ketiganya merupakan pilar ukhuwah yang tak boleh luput dari roda perjalanan da’wah.

Ta’aruf bermula dari pengenalan secara fisik, karakter, kadar keseriusan taqarrub kepada Allah, atau hal-hal lahiriyah lainnya. Rasulullah saw bersabda, “Seorang mukmin itu makhluk yang cepat akrab, maka tidak ada kebaikan pada orang yang tidak cepat akrab dan tak bisa diakrabi.” (HR. Ahmad dan Thabrani).


Ta’aruf yang baik akan meminimalisir kekeringan dan keretakan hubungan sesama muslim. Ia juga dapat membuat hati jadi lembut serta mampu melenyapkan bibit perpecahan. Bila wilayah ta’aruf sudah terbentang, akan tumbuh sikap tafahum. Sikap tafahum akan menjaga kesegaran jama’ah da’wah. Sebab, da’wah diemban oleh orang-orang yang punya  keterpautan hati, saling toleransi, dan saling kompromi untuk hal-hal yang mubah.

Urgensi tafahum akan kian terasa ketika pendukung jamaah da’wah terdiri dari berbagai macam orang, baik suku, budaya maupun bahasanya. Semua karakter kesukuan harus lebur dalam tradisi tafahum dalam ukhuwah. Meski, kedekatan kultur juga bermanfaat bagi kesuksesan da’wah. Imam Malik berkata, “Lihatlah orang dengan kebenaran, dan jangan sebaliknya, engkau lihat kebenaran dengan orang."

Puncak tafahum ada pada tahap “bicara“ pada satu bahasa (at-tahadduts bi lughatin wahidah). Di mana karakter khas mewarnai seluruh aktivis jama’ah da’wah, mereka berpikir dengan pola yang satu, dan berbicara dengan bahasa yang satu.

Siapa yang tak siap dengan konsep tafahum ini akan gagal memasuki tahapan ukhuwah berikutnya, yaitu takaful. Inilah intisari ukhuwwah, yang darinya lahir itsar (mendahulukan sesama saudara), puncak dari segala amal ukhuwah. Takaful tidak mesti bahu membahu dalam memberikan jaminan materi. Ia bisa dalam bentuk bahu membahu menunaikan kerja, saling membela yang dizalimi, bahkan saling mengirim do’a.

Ukhuwah Islamiyah yang benar akan panjang usia, bahkan hingga hari akhirat kelak. “Di sekitar Arsy ada menara-menara dari cahaya. Di dalamnya ada orang-orang yang pakaiannya dari cahaya dan wajah-wajah mereka bercahaya. Mereka bukan para nabi atau syuhada. Para nabi dan syuhada iri kepada mereka." Ketika ditanya para sahabat, Rasulullah menjawab, “Mereka adalah orang-orang yang saling mencinta karena Allah, saling bersahabat karena Allah, dan saling kunjung karena Allah.” (Hadits Shahih diriwayatkan oleh Tirmidzi. Wallahu’alam