salam

Senin, 27 Juni 2011

Seri Taujihat Tarbawiyah

Tumbuhkan Kembali Semangat Membina

مَا كَانَ لِبَشَرٍ أَنْ يُؤْتِيَهُ اللَّهُ الْكِتَابَ وَالْحُكْمَ وَالنُّبُوَّةَ ثُمَّ يَقُولَ لِلنَّاسِ كُونُوا عِبَاداً لِي مِنْ دُونِ اللَّهِ وَلَكِنْ كُونُوا رَبَّانِيِّينَ بِمَا كُنْتُمْ تُعَلِّمُونَ الْكِتَابَ وَبِمَا كُنْتُمْ تَدْرُسُونَ (آل عمران:79)
“… jadilah kalian orang-orang rabbani disebabkan kalian senantiasa mengajarkan Al Qur-an dan mempelajarinya” (QS.3:79).

Ikhwan dan akhwat fillah, dakwah merupakan kemestian dan kebutuhan yang akan terus berjalan dengan atau tanpa kita. Hanya alangkah ruginya hidup tanpa dakwah dan betapa egoisnya membiarkan dakwah berjalan tanpa kita. Mentarbiyah atau membina merupakan bagian penting dari kerja dakwah. Meninggalkan pembinaan berarti memperlambat lajunya dakwah. Tetapi membina berarti mempercepat tercapainya target-target dakwah dan melanggengkan proses-proses berikutnya.

Mencermati keadaan adanya sejumlah aktivis dakwah yang dahulu begitu rajin dan bersemangat namun kini nampak melunak dan membatasi dirinya untuk hanya menangani satu kelompok saja atau bahkan tidak membina sama sekali maka perlu adanya penyikapan yang jelas tentang hal tersebut.berikut ini ada sejumlah faktor yang mungkin bisa menjadi bahan renungan guna mencegah semakin menggejalanya realitas mengendurnya semangat membina di kalangan aktivis.

Pertama, bahwa dahulu ketika kita digiatkan dengan kerja keras meningkatkan kuantitas kader adalah dimotivasi pemahaman kita tentang nash-nash Qur-an dan hadits. Bahwa rabbaniyyun (ketaqwaan yang prima dapat dicapai lewat mengajarkan dan terus belajar (QS. 3:79). Bahwa keberhasilan kita mengajar seseorang kepada kebaikan lebih berharga ketimbang domba gemuk yang segar atau dunia dan seisinya (Al Hadist). Bahwa merupakan jalan hidup Rasulullah yang mesti kita teladani (QS. 12:108, 33:21)

Kedua, bahwa nash memperingatkan kepada kita bahwa anak dan harta merupakan ujian bagi kita. Anak adalah buah hati yang membuat kita ingin selalu menjaga dekat dengannya dan menghawatirkan kesehatan dan keselamatannya. Dulu ketika belum punya anak atau jumlah mereka belum banyak (kurang dari 3) kita masih disibukkan dengan banyaknya halaqah. Namun tatkala jumlah anak semakin bertambah agaknya waktu kita semakin padat sehingga tugas-tugas membina mulai terkurangi dengan alasan mendidik anak. Hartapun demikian, kita butuh harta untuk memenuhi kebutuhan yang semakin meluas (makan, pakain, tempat tinggal, pendidikan, hiburan dlsb.) sehingga mulailah kita mengurangi aktivitas dakwah, termasuk membina di antaranya dan memperbanyak aktivitas mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan diri dan keluarga. Pembinaanpun akhirnya semakin  terpinggirkan. Kita sediakan waktu sisa kita yang dipenuhi dengan keletihan untuk membina dan itupun dengan persiapan yang ala kadarnya. Sehingga dapat dibayangkan betapa kurang efektifnya pembinaan yang akan berjalan. Bahkan terkadang kita menggeser atau lebih mengenaskan lagi, membatalkan pertemuan dengan binaan karena kesibukan kerja dan pada akhirnya sisa satu halaqahpun kita transfer kepada rekan kita yang kita anggap lebih memiliki waktu luang ketimbang kita.

Ketiga, benarkah memang pembinaan yang harus dikorbankan karena keterpaksaan yang tak bisa dihindari (darurat) ataukah sebenarnya kita yang sudah mulai jenuh membina dan ingin cuti lama atau bahkan pensiun di usia dini. Alangkah sayangnya potensi yang penah berhasil menangani belasan halaqah harus diistirahatkan untuk waktu yang entah sampai kapan.

Ikhwan dan akhwat fillah, ketimbang orang lain mungkin memang kita lebih mengenali kenyataan diri dan apa yang terbaik bagi kita dan keluarga. Maka maafkanlah kami bila terlalu lancang meminta kesadaran untuk bernostalgia kembali, mengenang kenikmatan menangani banyak halaqah di masa lalu dan lantas mengajak untuk berkorban menyediakan waktu lebih lama dan menyalakan semangat lebih terang guna menyemarakkan kembali pembinaan.

Ikhwan dan akhwat fillah, marilah kita menyambutnya dengan meramaikan kembali rumah kita dengan kehadiran kader-kader dakwah. Membuat anak-anak kita senang dan bangga dengan kekayaan murid ayah dan ibunya (meskipun kita belum dapat menyenangkan mereka dengan kekayaan harta dan kesenangan dunia lainnya). Jadikanlah suasana rumah lebih merdu dengan dentingan gelas minuman yang kita sajikan untuk mereka dan keberkahan yang melekat di seluruh penjuru ruangan dengan lantunan tilawah Qur-an puluhan suara-suara bening binaan-binaan kita.

 “Barangsiapa mewariskan kebiasaan-kebiasaan baik maka dia akan mendapatkan terus pahala dari kebaikan-kebaikan yang dilakukan oleh yang mengikutinya” (Al Hadits)

Minggu, 19 Juni 2011

BERSIKAP LEMBUT DAN RENDAH HATI


فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظّاً غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ ... (آل عمران:159)
“Maka disebabkan rahmat Allah atasmu, kamu berlaku lemah lembut kepada mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkan mereka dan mohonkanlah ampun bagi mereka…”(QS.:3:159)
            Ikhwan dan akhwat fillah, sejarah telah memaparkan pancaran pesona akhlaq Rasulullah dalam perjuangan dakwah beliau sebagai suri teladan bagi kita (QS.:33:21). Kemudian Allah SWT menguatkan dengan firman-Nya “wa innaka la’alaa khuluqin ‘azhiim”(QS.:68:4). Tentunya ini merupakan pelajaran yang sangat berharga bagi kita. Rumusan nyata dan gamblang tentang model manusia terbaik. Maka siapa yang ingin berhasil dalam mengemban tugas dakwah sebagaimana Rasul, hendaklah mengikuti jejak langkah Rasulullah dan menerapkan akhlaq Rasulullah dalam segenap aktivitas kehidupannya.
            Dulu sering kita jumpai keluhan-keluhan dan kekecewaan terhadap penanganan dakwah di kalangan para mutarobbi. Fenomena berjatuhannya para aktivis dakwah, ditambah lagi dengan ketidaksukaan mereka terhadap pola dakwah ternyata - menurut mereka - disebabkan karena seringnya mereka menerima perlakuan yang tidak bijaksana.
            Jawaban sederhana dari permasalahan di atas boleh jadi karena ketidak utuhan kita dalam meneladani Rasul atau bahkan mungkin karena kita belum mampu menanamkan akhlaq Rasul pada diri mereka. Akibatnya kita sering tidak sabar dan tidak bijaksana menyikapi mereka, sementara merekapun terlalu mudah tersinggung dan cengeng menyikapi teguran  dan nasihat yang mereka anggap sebagai pengekang kebebasan.  Komunikasi yang tidak sehat ini sebenarnya bisa diatasi dengan menyadari sepenuh hati akan begitu pentingnya penanaman dan penerapan akhlaq Rasulullah dalam berbagai pendekatan dakwah. Ditinjau dari segi juru dakwah, keinginan meluruskan, teguran, penugasan, sindiran dan sebagainya sebenarnya dapat dikemas dengan akhlaq. Begitupun dari segi mad’u, ketidakpuasan, ketersinggungan, perasaan terkekang dan kejenuhan juga dapat diredam dengan akhlaq. Akhlaq menuntun kepada kemampuan untuk saling menjaga perasaan, saling memaklumi kesalahan dan mengantarkan kepada penyelesaian terbaik.
            Banyak murabbi yang dikecewakan dan ditinggalkan binaaanya, tapi dia mampu mengemas luka itu dengan empati dan terus mendoakan kebaikan bagi binaannya. Bahkan diiringi harapan suatu saat Allah mengembalikan binaannya dalam aktvitas dakwah, walaupun mungkin bukan dalam penanganannya. “Mungkin dengan saya tidak cocok, tapi semoga dengan murabbi lain cocok”. Ada mutarabbi yang diperlakukan tidak bijaksana oleh murabbinya namun akhlaq menuntunnya untuk mengerti dan menyadari bahwa murabbinya bukan nabi, sehingga dia tidak dendam dan menjelek-jelekkan murabbinya, melainkan tetap merasa bahwa murabbi dengan segala kekurangannya telah berjasa banyak padanya. Dia tidak membenci dakwah meskipun dia dikecewakan oleh seorang aktivis dakwah.
            Di antara nilai-nilai akhlaq yang semuanya mesti kita tanamkan dalam diri, ada dua nilai yang cukup relevan dengan kelancaran dakwah, yaitu kelembutan dan rendah hati. Kelembutan adalah perpaduan hati, ucapan dan perbuatan dalam upaya menyayangi, menjaga perasaan, melunakkan dan memperbaiki orang lain. Kelembutan adalah kebersihan hati dan  keindahan penyajian yang diwujudkan dalam komunikasi lisan maupun badan. Bukanlah kelembutan bila ucapannya lembut tapi isinya penuh dengan kata-kata kasar menyakitkan (nyelekit). Bukan pula kelembutan bila menyampaikan kebenaran tapi dengan caci maki dan bentakan. Berwajah manis penuh senyum, memilih pemakaian kata yang benar dan pas (qaulan syadidan), memaafkan, memaklumi, penuh perhatian, penuh kasih sayang adalah tampilan kelembutan. Wajah sinis, penuh sindiran yang terkadang tanpa tabayyun, buruk sangka, ghibah, pendendam, emosional merupakan kebalikan dari sifat kelembutan.
            Rendah hati merupakan perpaduan hati, ucapan dan perbuatan dalam upaya mendekatkan/mengakrabkan, melunakkan keangkuhan, menumbuhkan kepercayaan, membawa keharmonisan dan mengikis kekakuan. Angkuh, sok pintar dan hebat, merasa paling berjasa, merasa levelnya lebih tinggi, minta dihormati, enggan menegur/menyapa lebih dulu, tidak mau diperintah, sulit ditemui/dimintai tolong dengan alasan birokratis, menganggap remeh, cuek dan antipati merupakan lawan dari rendah hati. Allah berfirman dalam surah Asy Syu’araa ayat 215 “Dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang beriman yang mengikuti kamu.” Bila Rasulullah saja dengan berbagai pesona dan kelebihannya diperintah untuk tawadhu (dan Rasul telah menjalankan perintah itu), tentulah kita yang apa adanya ini harus lebih rendah hati. Rendah hati terhadap murabbi,   rendah hati terhadap mutarabbi dan rendah hati terhadap seluruh orang-orang beriman menunjukkan penghormatan kita pada Rasul dan pada kebenaran Al Qur’an. Sebaliknya, keangkuhan dan perasaan lebih dari orang lain menandakan masih jauhnya kita dari Qur’an dan. Hadist
            Marilah kita lebih mengaplikasikan apa-apa yang sudah kita ketahui. Betapa pemahaman kita tentang pentingnya akhlak dalam mengantarkan pada kesuksesan dakwah mungkin sudah cukup mumpuni. Namun tinggal bagaimana kita terus meningkatkan penerapan nilai-nilai akhlaq itu dalam kehidupan kita sehari-hari, khususnya dalam mengemban tugas dakwah. Telah dan akan terus terbukti bahwa sambutan masyarakat terhadap dakwah adalah di antaranya karena pesona akhlaq kita, kelembutan  kita memaklumi, mengingatkan dan meluruskan mereka dan kerendahhatian kita untuk terus bersabar mendekati dan menemani hari-hari mereka dengan dakwah kita. Dalam konteks khusus pun demikian, betapa kelembutan dan kerendahhatian ternyata lebih melanggengkan/mengawetkan binaan-binaan kita untuk terus berdakwah bersama kita.
Ikhwan dan akhwat fillah, hendaknya dari hari ke hari kita terus mengevaluasi diri, membenahi akhlaq kita dan memantaskan diri (sepantas-pantasnya) sebagai seorang juru dakwah. Memang kita manusia biasa yang penuh salah dan kekurangan, namun janganlah itu menjadi penghalang kita untuk memujahadah diri menuju kepada kedewasaan sejati. Masa lalu yang kasar dan angkuh hendaklah segera pupus dari diri kita. Kita mulai membiasakan diri untuk lembut di tengah keluarga, di antara aktivis dakwah hingga ke masyarakat luas.  Kita mesti melatih kerendahhatian di tengah murid-murid kita, dengan sesama aktivis, pada murabbi kita hingga ke seluruh masyarakat. Dan pada akhirnya nanti insya Allah kita dapatkan keberhasilan dakwah Rasulullah terulang kembali, lewat hati, ucapan dan perbuatan kita yang telah diwarnai nilai-nilai akhlaq.
ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ (النحل:125)
“Serulah mereka  ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik, dan bantahlah dengan cara yang baik pula. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalanNya dan Dialah yang mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS 16:125)

Seri : Kumpulan Taujih Tarbawiyah 

Sabtu, 18 Juni 2011

 Tetap Waspada di Era Terbuka

Dakwah bukanlah pemuas nafsu. Jadi, adalah salah bila seseorang melaksanakan dakwah dengan tujuan untuk melampiaskan unek-unek, mengumbar kejengkelan, memuntahkan segala rasa keterpurukan, atau mengejar ambisi-ambisi pribadi. Dakwah adalah aktivitas untuk menegakkan kalimatullah. Dan tegaknya kalimatullah ditandai dengan empat hal, seperti yang digambarkan dalam  Quran:
“Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sesungguhnya akan menjadikan mereka berkuasa (khalifah) di bumi sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum kamu berkuasa. Dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diredhai-Nya untuk mereka dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap mengabdi kepada-Ku  dengan tidak mempersekutukan sesuatu apa pun dengan-Ku.” (An-Nur 55)
Memperhatikan ayat di atas bisa dipahami bahwa di antara indikasi tegaknya kalimatullah adalah:
  1.  Kaum Muslimin memegang kendali kepemimpinan manusia.
  2.  Kokohnya agama Islam dengan bukti Islam dijadikan rujukan dalam kehidupan.
  3.  Tumbuhnya rasa aman, tenteram, dan kedamaian dalam kehidupan manusia. Dan hanya di saat kondisi umat Islam seperti itulah, maka
  4.  Pengabdian utuh -tanpa kemusyrikan, apa pun bentuknya- dipersembahkan kepada Allah swt.

Oleh karena itu, sekali lagi, sukses dakwah janganlah diukur oleh semata-mata keberanian seorang da'i memekikkan segala protes dan perlawanan terhadap kondisi dan situasi yang berlangsung. Sukses dakwah Islam dapat diukur oleh –antara lain- ayat yang disebutkan di atas.
Atas dasar itu semua, maka setiap da'i berkewajiban menjaga keberlangsungan dakwah. Dan keberlangsungan dakwah didukung oleh antara lain kewaspadaan. Allah swt. berfirman:  “Wahai orang-orang yang beriman, waspadalah kalian, maka majulah kalian (ke medan jihad) secara berkelompok-kelompok atau majulah bersama-sama.” (An-Nisa 71)
Ayat  ini menegaskan beberapa hal: pertama, agar umat Islam bisa melanjutkan proyek dakwah dan jihad maka harus selalu bersikap waspada. Kedua, kewaspadaan itu penting karena  kita menginginkan dakwah dan jihad terus berlangsung hingga kemenangan Islam dianugerahkan Allah, bahkan hingga  hari kiamat. Oleh karenanya, jangan sampai kita berjuang tanpa kewaspadaan dan perhitungan cermat dengan dalih tidak ada yang perlu ditakuti selain Allah. Dan jangan pula kita hanya terus menerus waspada dan menngkatkan kehati-hatian tapi tidak melakukan apa pun dan hanya diam saja. Persis seperti orang yang berada di pinggir jalan. Dia menengok tak henti-henti ke kanan-kiri jalan. Tapi tidak juga menyebrang jalan. Segala kewaspadaan itu pentiNg untk menjaga amniyah (keamanan) dakwah

Hal-hal yang perlu dijaga amniyyah (keamanan)-nya adalah:
1.       Qiyadah (pimpinan) dakwah.
Qiyadah adalah faktor sangat penting dalam perjuangan. Al-Quran melukiskan betapa kaum Bani Israil tidak mampu melakukan perlawanan terhadap penjajah karena tidak memiliki qiyadah. Karenanya kemudian mereka memohon kepada Allah swt. agar Dia berkenan mengutus seorang pemimpin.
Para sahabat melakukan pengamanan terhadap diri Rasulullah saw. dalam rangka menjaga kesinambungan dakwah. Abu Bakar Ash-Shiddiq, misalnya, secara langsung menjadikan dirinya sebagai tameng bagi Rasulullah saw. saat mereka berdua berhijrah ke Yatsrib (Madinah sekarang). Bahkan Abu Bakar Ash-Shiddiq rela menderita demi keselamatan Rasulullah saw. Padahal baik Rasulullah saw. maupun  Abu Bakar yakin seyakin-yakinnya bahwa Allah swt. akan membela nabi-Nya.
Sa’ad Bin Abi Waqqash pun pernah melakukan hal serupa. Pada suatu malam dalam sebuah pertempuran, Rasulullah saw.  bermalam di dalam sebuah tenda. Sa’ad Bin Abi Waqqash merasa tidak nyaman tidur karena takut ada hal-hal buruk terjadi pada Rasulullah saw. Maka ia pun datang seraya menghampiri tenda Rasulullah saw. Mengetauhi ada orang yang datang, Rasulullah saw. bertanya, “Siapa di luar?” Sa’ad menjawab dengan menyebutkan namanya. Rasulullah saw. bertanya lagi, “Untuk apa kamu datang ke sini?” Sa’ad menjawab, “Aku datang ke sini karena ada rasa cemas sesuatu menimpa dirimu.” Maka Rasulullah saw. mendokan Sa’ad dengan mengatakan, “Ya Allah kabulkan doa Sa’ad bila ia memohon kepada-Mu.” Itu semua menunjukkan betapa pentingnya menjaga amniyyah para qiyadah.

2.      Strategi Dakwah.
Strategi dakwah adalah termasuk hal penting untuk dijaga dan tidak diobral kepada setiap orang. Rasulullah saw. melakukan ini saat mau berhijrah ke Madinah. Bahkan keluarga Abu Bakar Ash-Shiddiq pun tidak semuanya mengetahui tencana kepergian beliau ke Madinah. Sementara itu Ali Bin Abi Thalib yang ditugaskan Rasulullah saw. untuk tidur menempati tempat tidur Rasulullah saw. lebih memilih mendapatkan pukulan-pukulan dari orang-orang Quraisy dari pada membongkar rahasia perjalanan Rasulullah saw. Dan dalam setiap pertempuran Rasulullah selalu merahasiakan rencana-rencana yang dibuat. Sehingga ketika ada seorang sahabat, namanya Hatib Bin Abi Balta’ah, yang karena rasa kasihan terhadap saudara-saudaranya yang ada di Makkah membocorkan rencana penyerangan terhadap kota Makkah, Rasulullah saw. menghukmnya.

3.      Basis Dakwah
Dakwah memerlukan basis sosial yang menjadi pendukung dakwah. Tentu saja setiap pendukung dakwah harus siap berkorban untuk Islam dengan segala yang dimilikinya. Namun demikian  dakwah harus pula memikirkan dan merencanakan agar para pendukung dakwah tidak menjadi korban kecerobohan atau kekurangcematan. Pentingnya menjaga amniyah para pendukung dakwah digambarkan oleh Allah swt. dengan firman-Nya melalui lisan Nabi Isa, “Siapakah penolong-penolongku ke jalan Allah?” (Ash-Shaff 14)

4.      Aset-aset Material Dakwah
Meskipun aspek material dan fisik bukanlah hal utama dalam dakwah namun ia memiliki daya dukung yang cukup berarti bagi kelancaran dakwah. Oleh karena itu para kader dakwah harus memikirkan untuk mengamankan aset-aset dakwah tersebut. Allah swt. berfirman:
“Dan persiapkanlah oleh kalian untuk menghadapi musuh-musuh itu kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat, yang dengannya kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu, dan orang-orang lain selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya.” (Al-Anfal 60)
Bagaimana mengamankan itu semua? Ada pelajaran penting dari apa yang dilakukan oleh Rasulullah saw. di Makkah setelah memasuki era dakwah secara terbuka (jahriyyah):

Pertama, Rasulullah saw. menghindarkan kaum Muslimin agar tidak masuk dalam pertarungan yang tidak berimbang. Rasulullah saw. tentu saja orang yang paling yakin dengan segala janji Allah swt. Namun demikian ia tetap bergerak dalam bingkai sunnatullah. Beliau melakukan segala sesuatu yang memang diperlukan bagi terciptanya perubahan. “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan satu satu kaum hingga mereka sendiri mengubah apa-apa yang ada pada diri mereka.” (Ar-Ra'd 11).
Untuk itu Rasulullah saw. melakukan dua hal:
1)      Menjauhkan para pengikutnya dari suasana pertarungan dan terus membina mereka dengan segala bekal yang diperlukan jika pertarungan itu tiba saatnya. Dalam rangka itu maka Rasulullah saw. memilih rumah Al-Arqam sebagai basis pembinaan. Dan pembinaan itu berjalan terus hingga Umar Bin Khattab masuk Islam, tahun VI dari kenabian.
2)      Rasulullah saw. membina para pengikutnya untuk berdisiplin dan mampu menengendalikan diri. Di samping usaha beliau untuk menjauhkan para pengikutunya dari suasana pertarungan, Rasulullah saw. juga mengarahkan para sahabatnya untuk memiliki mental disiplin, penyabar, dan mampu mengendalikan hawa nafsu. Dan itu didukung oleh arahan-arahan rabaniyyah yang turun saat itu, misalnya, “Dan ikutilah apa-apa yang iwahyukan kepadamu dan bersabarlah hingga Allah memberikan keputusan. Dan Dialah sebaik-baik pemberi putusan.” (Yunus 109) dan firman-Nya pula, “Bersabaralah atas apa yang mereka katakan.” (Al-Muzzammil 10)

Karenanya ketika Khabbab Bin Al-Arat mengadu kepada Rasulullah saw. tentang imtimidasi yang dideritanya, Rasulullah saw. memesankan, “Sungguh telah terjadi pada umat-umat terdahulu sebelum kamu, mereka disisir tubuhnya dengan sisir besi sehingga memisahkan tulang dari dagingnya; dan yang lainnya digergaji hingga membelah tubuhnya, namun hal itu tidak membuat mereka berpaling dari agama mereka… akan tetapi kalian memang terburu-buru.”
Kedua, Rasulullah saw. mengarahkan para sahabat agar menghindari kekerasan. Dalam rangka itu Rasulullah saw. melakuan tiga hal:
1) memperkuat soliditas internal. Ini dilakukan dengan cara memperkokoh ukhuwwah islamiyyah. Imam Al-Baihaqi meriwayatkan, “Adalah Rasulullah saw. menyatukan satu atau dua orang yang baru masuk Islam dengan seseorang yang mempunyai keleluasaan harta, agar mereka bisa ikut makan dari makanan yang dia miliki.” Dan hal itu bukan saja bermakna takaful maddi (solidaritas material) namun lebih jauh dari itu membuang segala kesenjangan dan batas penghalang di antara sesama Muslim.
2) Memberikan pemahaman, pencerdasan, dan menanamkan optimisme di kalangan kaum Muslimin. Tidak hal yang lebih berhaya dalam perjuangan selain dari frustasi dan pesimisme. Di antara arahan Rasulullah saw. saat itu adalah, “Demi Allah. niscaya Dia akan menyempurnakan  urusan ini hingga seorang pengendara berjalan dai Shan’a ke Hadramaut tanpa takut apa pun selain Allah dan takut srigala memangsa kambingnya. Akan tetapi kalian terburu-buru.” Dan saat itu pula Rasulullah saw. menyampaikan dan mengajarkan segala ajaran Allah yang diterimanya.
3) Sikap bijak dan empati dalam menghadapi orang-orang yang mendapat tekanan atau intimidasi. Ini seperti yang beliau lakukan terhadap Ammar Bin Yasir. Dia merasa sangat sedih dan berdosa karena  dia menyebut berhala saat disiksa oleh orang-orang Quraisy. Namun  Rasulullah saw. menghibur dan memperteguhnya dengan mengatakan, “Jika mereka kembali (melakukan penyiksaan) maka ulangilah lagi.”
Namun tentu saja, sekali lagi, kewaspadaan itu penting karena kita ingin terus bergerak. Oleh karena itu jangan sampai kewaspadaan berarti kemandekan sebagaimana jangan pula keberanian bermakna kesembronoan. Allahu a’lam.

 
 seri :kumpulan taujih tarbawiyah 
 

Rabu, 08 Juni 2011

Yang Tetap dan Yang Bisa Berubah


Seorang syeikh mengingatkan muridnya bahwa dakwah harus terus berlangsung dan tidak boleh berhenti sedikit pun meski wadahnya sebagai media aspirasi perjuangannya dibubarkan pemerintah setempat. “Sekalipun wadah kita bubar, aktivitas dakwah kita tidak boleh bubar dan tidak bisa dibubarkan”, demikian penegasan syeikh tersebut.
Kalimat itu menghentakkan kesadaran muridnya akan kewajiban mereka untuk senantiasa berdakwah dengan berbagai kondisi dan keadaan. Bukan malah bingung untuk melakukan sesuatu lantaran wadahnya sudah dibubarkan. Karena hakikat asasiyat bagi aktivis adalah berdakwah untuk memberikan kontribusi amal shalih dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Ayyuhal ikhwah rahimakumullah.
Suatu keadaan pahit sering kali membuat orang sock dan berat menerimanya. Meski pun kenyataan berat seperti itu sangat manusiawi. Akan tetapi sebagai aktivis dakwah selayaknya tidak berada pada titik keadaan tersebut. Namun hendaknya menyikapi situasi tersebut dengan berpegang pada dhawabith (patokan-patokan) yang jelas dalam amal dakwah ini. Sehingga tidak kehilangan keseimbangan ketika berada di dalamnya. Melalui patokan itu kita dapat melangkahkan kaki bersama dakwah dengan gegap tanpa ragu dan bingung.
Dhawabit ini akan memandu ke arah mana jalan yang harus ditempuh dan menjadi rambu yang akan memberitahu apa yang mesti dilakukannya.

Dakwah aktivitas yang harus langgeng

Ayyuhal ikhwah rahimakumullah.
Keterikatan aktivis terhadap dakwah tidak boleh mengalami penurunan dalam situasi yang terjepit sekalipun. Akan tetapi peningkatan dan pengokohanlah yang mesti dilakukan mereka. Bersama dakwah prinsip hidup mukmin terus terjaga, komitmen kepada Islam semakin kuat. Sebaliknya tanpa bersama dakwah jurang menganga selalu di hadapan dan bahaya senantiasa mengancam. Bahkan yang perlu kita camkan adalah tanpa kesertaan dakwah eksistensi kita dalam barisan itu akan tergantikan oleh mereka yang lebih baik kesertaannya daripada diri kita. Dalam keadaan bahaya sekalipun keterlibatan diri terhadap dakwah harus langgeng apalagi dalam keadaan tenang. Rasulullah SAW. Mengatakan bahwa Islam adalah roda yang berputar maka berputarlah bersama Islam bagaimanapun putarannya. Ucapan beliau ini menegaskan bahwa aktivis dakwah harus selalu menyertainya dalam setiap keadaan karena kesertaan yang lemah menjadi sebab untuk diganti dengan orang lain yang lebih baik.
“………jika kamu berpaling niscaya Dia akan mengganti kamu dengan kaum yang lain dan mereka tidak seperti (kualitas) kamu ini”. (QS. Muhammad: 38)

Tarbiyah mesti tetap berjalan

Ayyuhal ikhwah rahimakumullah.
Tarbiyah sebagai sarana pembentukan diri bagi aktivis tidak boleh kendur dan macet dalam kondisi apapun. Dan mereka yang berada dalam barisan dakwah mentarbiyah diri menjadi aktivitas yang mesti berjalan tidak mandeg dan berhenti sejenakpun. Karena tarbiyah merupakan titik tolak bagi aktivis dalam membina diri menuju kepribadian muslim shalih mushlih. Apalagi iklim yang terjadi di sekitarnya sangat berperan menjadi penghalang untuk mencapai cita-cita mulia tersebut. Tikungan-tikungan tajam yang berbahaya berada di kiri dan kanan jalan yang akan menjerumuskannya ke dalam jurang terjal. Maka tarbiyah sebagai jawaban untuk membina diri bagi aktivis dalam menghadapi keadaan tersebut harus tetap berjalan.
Kemandegan tarbiyah dapat berpengaruh pada ketahanan mental dan ma’nawiyah aktivis yang melemah. Kelemahan ini terkadang menjadi sebab dari berbagai problematika aktivis baik skala personal maupun sosial. Oleh sebab itu tarbiyah dalam situasi apapun harus terus berjalan. Bila ia mendapatkan rintangan dari kiri ia harus memutar haluan dengan cepat ke kanan. Begitu juga bila ada gangguan dari sebelah kanan ia pun harus menyikapinya dengan cepat berbelok ke kiri. Artinya meskipun banyak yang menghalangi, tarbiyah harus terus bergulir dari berbagai arah sehingga ia selalu mengalir dengan lancar.    

Berjamaah suatu keharusan

Ayyuhal ikhwah rahimakumullah.
Banyak kita temukan keterangan dalam Al Qur’an dan Hadits yang menjelaskan bahwa berjamaah merupakan suatu keharusan untuk setiap muslim. Dengan berjamaah kita dapat keberkahan yang melimpah. Yang lemah akan kuat, yang kurang akan mendapatkan tambahan, yang menyimpang akan terluruskan dan kebaikan lainnya. Karena itu berjamaah menjadi kebutuhan yang asasi bagi aktivis. Ia akan mampu menghadapi segala keadaan dengan berjamaah. Keberadaannya dalam jamaah ini tentu bukan sekadar hadir di dalamnya melainkan ia aktif dan terlibat penuh dengan berbagai aktivitasnya. Dengan sikap begitu ia akan merasakan keberadaan jamaah pada dirinya.
Allah SWT. memandang orang mukmin selalu berjamaah sebagaimana shighat dalam nash qur’an. Hal ini sekaligus untuk menyuruh orang-orang mukmin dalam keadaan berjamaah. Orang yang infiradi berpeluang mendapatkan mara bahaya. Apalagi dalam situasi yang terjepit dan sulit. Bukankah Rasulullah SAW. telah bersabda agar kita terikat pada jamaah meskipun harus menggenggam bara api. 

Peran Qiyadah dan Jundiyah

Ayyuhal ikhwah rahimakumullah.
Peran Qiyadah dalam hal ini adalah menetapkan suatu kebijakan yang akan menjadi arahan dan patokan yang jelas bagi prajuritnya.  Kebijakan tersebut untuk dilaksanakan oleh bawahannya secara cepat dan tepat. Dalam situasi yang pelik seorang pemimpin tidak boleh lambat dalam mengambil suatu keputusan. Keputusan yang lambat dapat membawa kekeliruan dalam menyikapinya. Keliru dalam menyikapi suatu keadaan akan berakibat fatal bagi perjalanan dakwah. Namun keputusan yang cepat tidak berarti asal ditetapkan sebagai sebuah keputusan melainkan berasal dari pemikiran dan perhitungan yang tajam akan keputusan tersebut.
Di samping itu, peran qiyadah adalah untuk memberikan arahan dan taujihat yang sangat dibutuhkan prajuritnya. Taujihat yang tepat dan mengena dari qiyadah menjadi cucuran air hujan di musim kemarau. Prajurit yang aktif memerlukan arahan apalagi setelah letih melakukan operasional kerja besar.
“Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mukmin itu pergi semuanya ke medan perang. Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya supaya mereka itu dapat menjaga diri”. (QS At Taubah: 122)
Sedangkan peran jundiyah maksudnya ialah bersikap sigap dan patuh dalam menjalani tugas dan kewajibannya. Sikap yang selalu melekat pada setiap prajurit. Bukan sikap ngambek, mutung, apalagi patah semangat dalam menjalani tugas dan kewajibannya. Prajurit yang baik adalah mereka yang selalu berusaha maksimal dalam menjalani tugasnya. Ditugaskan di barisan terdepan ia akan berada pada posisinya. Ditempatkan di bagian belakang ia selalu menunaikannya. Diperintahkan ia laksanakan dengan segera. Sebaliknya prajurit yang diam terpaku dan termenung menghadapi tugasnya akan memperlambat kerja dan tugasnya. Bahkan akan berakibat buruk bagi keseluruhannya.
Nama, bentuk, mekanisme dan prosedural administrasi mengalami perubahan sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada.
Dalam  perjalanan dakwah dan harakah ada hal-hal yang dapat berubah. Perubahan ini dapat terjadi karena situasi dan kondisi yang berkembang di sekitarnya. Perubahan tersebut asal tidak merubah prinsip dan arah harakah dakwah ini melainkan sebagai upaya untuk tetap melanggengkan perjalanannya. Perubahan itu dapat meliputi perubahan nama, bentuk, mekanisme dan prosedural. Perubahan nama merupakan sesuatu yang biasa dalam dinamika dakwah dan pergerakannya. Perubahan nama dapat terjadi beberapa kali. Hal ini terjadi karena faktor yang tidak dapat memunculkan nama  lamanya sehingga perlu menampilkan diri dengan nama barunya. Perubahan bentuk juga mungkin dapat terjadi hingga beberapa kali untuk dapat diterima masyarakat luas sehingga perjalanannya tetap berkesinambungan. Semua perubahan itu sangat mungkin dapat terjadi, karenanya aktivis dakwah tidak boleh mengalami sock yang berkepanjangan lantaran hal itu. Perubahan-perubahan itu adalah bahagian dari dinamika perjalanan sunnah dakwah dari masa ke masa. 


3:144. Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barang siapa yang berbalik ke belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan mudarat kepada Allah sedikit pun; dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.

(afwan catatan taujih ini ndak tau penulisnya, semoga menjadikan sebagi amal yang senantiasa terus mengalir....amin,)

Selasa, 07 Juni 2011

Ikhlaskah saya?


“…dan tidaklah kalian diperintah kecuali beribadah kepada Allah dengan ikhlas…….” (QS 98:5).
Ikhwan wa akhawat fillah, telah kita ketahui bersama bahwa syarat diterimanya amal adalah benar dan ikhlas. Benar mencontoh Rasulullah, ikhlas ditujukan semata untuk mencari keridhaan Allah. Kedua syarat itu tentunya mesti mengiringi setiap amal yang kita lakukan agar kita layak memperoleh surga Allah nanti di yaumil akhir.
Berbicara tentang ikhlas ada tiga ciri keikhlasan yang perlu kita tahu. Pertama memiliki perasaan sama bila dipuji atau dicela. Tidak bangga atau gembira ketika dipuji dan tidak jengkel atau marah ketika dicela. Kedua tidak merasa berjasa atau berprestasi dengan amalnya. “Karena sayalah Islam semerbak di  kecamatan ini, dan sayalah yang pertama merintis pembinaan di kampus itu”, adalah contoh ketidakikhlasan. Ketiga mengharapkan pahala amal itu di akhirat, tidak di dunia,  … “in ajriya illa ‘alalladzii fatharani, sesungguhnya upah kami adalah dari Allah yang menciptakan kami…” (QS 11:51).
Berikut ini sejumlah ilustrasi yang mungkin dapat memantapkan azam kita untuk selalu ikhlas dalam beramal.
Kisah pertama. Seorang Arab Badui, tidak disebut namanya, datang kepada Rasulullah kemudian beriman mengikuti Rasul dan meminta untuk ikut hijrah sampai akhirnya ikut Perang Khaibar. Pada saat pembagian ghanimah dia berkomentar “apa ini”? sahabat menjawab “jatah kamu yang telah disiapkan Rasulullah”, “aku ikut kamu ya Rasul bukan karena ini, tapi aku ingin leherku tertusuk anak panah, aku mati dan aku masuk surga”. Kemudian terjadi perang lagi dan sahabat Arab Badui ini ikut berperang dan terbunuh, lehernya terkena anak panah. Pada saat itu jasadnya dibawa kepada Rasulullah.
Rasul menyolatkannya dan berdoa “ya Allah ini seorang hambamu keluar berhijrah di jalanmu kemudian terbunuh mati syahid dan aku menjadi saksi baginya.
Kisah kedua. Ada kisah populer yang disebut Shahibun Naqab, tentang seorang prajurit di waktu peperangan di masa Umayyah yang dipimpin Maslamah bin Abdul Malik. Ketika terjadi pengepungan sebuah benteng musuh tak ada satupun sahabat yang berhasil membuka benteng itu. Dalam kesempatan itulah prajurit ini masuk dengan melubangi tembok benteng (maka disebut naqab artinya lubang). Lewat lubang yang dia buat itulah tentara Islam bisa mengalahkan musuh. Sehabis peperangan Maslamah meminta agar tentara yang melubangi tembok melapor padanya. Setelah sekian lama tidak ada yang melapor, akhirnya datanglah seorang bertopeng menemui Maslamah. “Aku akan beritahu siapa tentara yang melubangi benteng itu, dengan syarat: pertama, jangan tanya siapa namanya, kedua jangan dicatat dalam sejarah, ketiga jangan diberi imbalan apapun.” Kemudian Maslamah menyanggupi. Lalu orang bertopeng itu memberitahu bahwa dialah orangnya dan segera setelah itu dia pergi meninggalkan Maslamah. Kisah ketiga tentang Imam Syafi’i yang memesankan kepada murid-muridnya agar janganlah menyebutkan namanya atau menghubungkan satu hurufpun kepada dirinya sebagai penguat argumentasi kebenaran. Maksudnya “ini menurut Imam Syafi’i, ini diambil dari Kitab Al Umm karya Imam Syafi’i.” Bahkan Imam Syafi’i mengatakan saya tidak pernah mendebat seseorang atau berdiskusi dengan seseorang untuk menjatuhkan dia atau untuk mengalahkan dia melainkan saya berharap ketika saya berdiskusi dengannya kebenaran muncul dari dirinya sendiri.
Ikhwan wa akhawat fillah, keinginan kita untuk senantiasa ikhlas hendaknya jangan menjadi penghalang kita untuk menjadi gamang atau takut beramal. Ulama memberikan batasan : “meninggalkan amal karena manusia itu riya, karena takut dilihat orang kemudian tidak mau beramal itu juga riya, sementara beramal untuk manusia itu syirik, dan ikhlas terlepas dari keduanya.” Artinya janganlah karena takut riya kemudian kita enggan beramal. Semestinya terus perbanyak amal tanpa perduli dilihat atau tidak dilihat manusia namun berusahalah untuk tidak terjatuh pada riya.

Ikhwan wa akhawat fillah, ketahuilah bahwa semerbaknya amal dilatarbelakangi oleh keikhlasan. Tersebarluasnya dakwah ke seluruh penjuru dunia adalah contoh nyata hasil kerja pribadi-pribadi ikhlas. Ketika ruang gerak mereka di negaranya dibatasi mereka mencari ladang lain yang memungkinkan untuk tumbuh suburnya dakwah. Dalam skala kecil,  aktivis-aktivis dakwah yang ikhlas di negeri ini tidak mencukupkan dirinya untuk hanya berkorban menjalankan kerja dakwah di kampus-kampus dan sekolah-sekolah,  namun terus beranjak merambah berbagai kalangan. Masjid-masjid, perkantoran, ibu-ibu arisan, pembantu rumah tangga, pedagang-pedagang dan lain-lain menjadi lahan dan obyek garapan mereka.  Meskipun dalam prakteknya mereka mendapat imbalan berupa ‘pengganti transport’, tapi bisa dipastikan bahwa bukan untuk itu mereka berdakwah. Karena ketika mereka memulai dakwahnya mereka tidak berangkat dari keinginan mencari nafkah lewat jalan itu. Sungguh, walaupun tidak mendapat imbalan mereka akan terus berdakwah di ladang tersebut. Itulah bukti keikhlasan mereka.

Sebagai penutup, Imam Syahid Hasan Al Bana menjelaskan tentang ikhlas dalam rukun bai’ah kedua. “Ikhlas adalah seorang akh muslim dengan perkataannya, amalnya, jihadnya  dan semuanya diniatkan karena Allah swt, mengharapkan ridhaNya dan balasan yang baik tanpa melihat keuntungan maupun penampilan, titel di depan atau dibelakang namanya. Dan dengan demikian dia menjadi prajurit aqidah dan fikrah, bukan prajurit atau pejuang kepentingan dan manfaat.
“Sesungguhnya amal seseorang bergantung pada niat, dan dia akan memperoleh apa yang dia niatkan...” ( Al Hadits)

( Note: taujih ini adalah taujih yang sudah lama sekali, wallahu a'lam siapa ya penulisnya..semoga bermanfaat bagi semua..amin... ^^ )


Rabu, 01 Juni 2011

Cahaya Di Wajah Ummat

KH. RAHMAT ABDULLAH 

 
Dalam satu kesatuan amal jama’i ada orang yang mendapatkan nilai tinggi karena ia betul-betul sesuai dengan tuntutan dan adab amal jama’i. Kejujuran, kesuburan, kejer-nihan dan kehangatan ukhuwahnya betul-betul terasa. Keberadaannya menggairahkan dan menenteramkan. Namun perlu diingat, walaupun telah bekerja dalam jaringan amal jama’i, namun pertanggungjawaban amal kita akan dilakukan di hadapan Allah SWT secara sendiri-sendiri.
Karenanya jangan ada kader yang mengandalkan kumpulan-kumpulan besar tanpa beru-saha meningkatkan kualitas dirinya. Ingat suatu pesan Rasulullah SAW: Man abtha-a bihi amaluhu lam yusri’ bihi nasabuhu (Siapa yang lamban beramal tidak akan diperce-pat oleh nasabnya ).
Makna tarbiah itu sendiri adalah mengharuskan seseorang lebih berdaya, bukan terus-me-nerus menempel dan tergantung pada orang lain. Meskipun kebersamaan itu merupakan sesuatu yang baik tapi ada saatnya kita tidak dapat bersama, demikian sunahnya. Sebab kalau mau, para sahabat Rasulullah SAW bisa saja menetap dan wafat di Madinah, atau terus menerus tinggal ber-mulazamah tinggal di masjidil Haram yang nilainya sekian ra-tus ribu atau di Masjid Nabawi yang pahalanya sekian ribu kali. Tapi mengapa makam para Sahabat tidak banyak berada di Baqi atau di Ma’la. Tetapi makam mereka banyak bertebaran jauh, beribu-ribu mil dari negeri mereka.
Sesungguhnya mereka mengutamakan adanya makna diri mereka sebagai perwujudan firman-Nya: Wal takum minkum ummatuy yad’una ilal khoir. Atau dalam firman-Nya: Kuntum khoiro ummati ukhrijat linnasi (Kamu adalah sebaik-baiknya ummat yang di-tampilkan untuk ummat manusia. Qs. 3;110). Ummat yang terbaik bukan untuk disem-bunyikan tapi untuk ditampilkan kepada seluruh ummat manusia. Inilah sesuatu yang sangat perlu kita jaga dan perhatikan. Kita semua beramal tapi tidak larut dalam kesendirian. Hendaklah ketika sendiri kita selalu mendapat cahaya dan menjadi cahaya yang menyinari lingkungan sekitarnya.
Jangan ada lagi kader yang mengatakan, saya jadi buruk begini karena lingkungan. Mengapa tidak berkata sebaliknya, karena lingkungan seperti itu, saya harus mempenga-ruhi lingkungan itu dengan pengaruh yang ada pada diri saya. Seharusnya dimanapun dia berada ia harus berusaha membuat kawasan-kawasan kebaikan, kawasan cahaya, kawas-an ilmu, kawasan akhlak, kawasan taqwa, kawasan al-haq, setelah kawasan-kawasan tadi menjadi sempit dan gelap oleh kawasan-kawasan jahiliyah, kezaliman, kebodohan dan hawa nafsu. Demikianlah ciri kader PK, dimanapun dia berada terus menerus memberi makna kehidupan. Seperti sejarah da’wah ini, tumbuh dari seorang, dua orang kemudian menjadi beribu-ribu atau berjuta-juta orang.
Sangat indah ungkapan Imam Syahid Hasan Al Banna, "Antum ruhun jadidah tarsi fi ja-sadil ummah". Kamu adalah ruh baru, kamu adalah jiwa baru yang mengalir di tubuh ummat, yang menghidupkan tubuh yang mati itu dengan Al-Qur’an.
Jangan ada sesudah ini, kader yang hanya mengandalkan kerumunan besar untuk mera-sakan eksistensi dirinya. Tapi, dimanapun dia berada ia tetap merasakan sebagai hamba Allah SWT, ia harus memiliki kesadaran untuk menjaga dirinya dan taqwanya kepada Allah SWT, baik dalam keadaan sendiri maupun dalam keadaan terlihat orang. Kemana-pun pergi, ia tak merasa kesunyian, tersudut atau terasing, karena Allah senantiasa ber-samanya. Bahkan ia dapatkan kebersamaan rasul-Nya, ummat dan alam semesta senanti-asa.
Kehebatan Namrud bagi Nabi Ibrahim AS tidak ada artinya, tidaklah sendirian. ALLAH bersamanya dan alam semesta selalu bersamanya. Api yang berkobar-kobar yang dinya-lakan Namrud untuk membinasakan dirinya, ternyata satu korps dengannya dalam menu-naikan tugas pengabdian kepada ALLAH. Alih-alih dari menghanguskannya, justeru ma-lah menjadi "bardan wa salaman" (penyejuk dan penyelamat). Karena itu, kader sejati yakin bahwa Allah SWT akan senantiasa membuka jalan bagi pejuang Da’wah sesuai dengan janji-Nya, In tansurullah yansurukum wayu sabit akdamakum (Jika kamu meno-long Allah, Ia pasti akan menolongmu dan mengokohkan langkah kamu)
Semoga para kader senantiasa mendapatkan perlindungan dan bimbingan dari Allah SWT ditengah derasnya arus dan badai perusakan ummat. Kita harus yakin sepenuhnya akan pertolongan Allah SWT dan bukan yakin dan percaya pada diri sendiri. Masukkan diri kedalam benteng-benteng kekuatan usrah atau halaqah tempat Junud Da’wah melingkar dalam suatu benteng perlindungan, menghimpun bekal dan amunisi untuk terjun ke arena pertarungan Haq dan bathil yang berat dan menuntut pengorbanan.
Disanalah kita mentarbiah diri sendiri dan generasi mendatang. Inilah sebagian pelipur kesedihan ummat yang berkepanjangan, dengan munculnya generasi baru. Generasi yang siap memikul beban da’wah dan menegakan Islam. Inilah harapan baru bagi masa depan yang lebih gemilang, dibawah naungan Alqur-an dan cahaya Islam rahmatan lil alamin. []